Rabu, Juni 06, 2012

Pancasila 1 Juni 1945

PDIP.kabmalang.com -
Kemerdekaan Indonesia jelas bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit -taken for granted-. Namun merupakan suatu sintesa dari sebuah proses dialektika perjuangan panjang bangsa Indonesia.
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) -Dokuritu Zyunbi Tyoosakai- adalah salah satunya yang dibentuk dalam kerangka kemerdekaan Indonesia. BPUPKI yang bekerja sejak 28 Mei – 1 Juni 1945 dan kemudian dilanjutkan 10 – 17 Juli 1945, secara maraton melakukan sidang-sidang yang intensif guna melakukan pembahasan dan perumusan tentang dasar negara, wilayah negara, warganegara dan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang bertempat di gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang kantor Dep. Luar Negeri), Ir. Soekarno mendapat kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya tentang dasar negara yang kemudian disebut sebagai Pancasila.
Dalam paparannya, Ir. Soekarno, menyampaikan urutan dan penjelasan tentang Pancasila yang berbeda dengan Pancasila yang saat ini dikenal dan dipahami pada umumnya.
Perbedaan tesebut dapat dilihat sebagai berikut :
Pancasila
1 Juni 1945
Sekarang
Nasionalisme, atau kebangsaan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Internasionalisme, atau perikemanusiaan
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Mufakat
Persatuan Indonesia
Kesejahteraan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Ketuhanan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Diawal pidatonya Ir. Soekarno menekankan pentingnya sebuah negara memiliki  p h i l o s o f i s c h e  g r o n d s l a g yang menjadi fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Ir. Soekarno juga menyebutnya sebagai  w e l t a n s c h a u u n g atau filsafat hidup. Filsafat hidup yang bukan baru akan dibuat dalam kerangka kemerdekaan Indonesia, namun filsafat hidup yang memang sudah berakar urat dan mendarah daging tertanam sejak lama.
Cita-cita didirikannya negara Indonesia sebagai suatu negara “semua buat semua” dan bukan buat satu golongan, suku, atau agama apapun yang mendasari Ir. Soekarno untuk mengusulkan prinsip  k e b a n g s a a n,  atau  n a s i o n a l i s m e.
Kebangsaan yang dimaksud bukanlah nasionalisme dalam pemaknaan sempit yang mengarah pada  c h a u v i n i s m e dengan menempatkan bangsa Indonesia seolah-olah lebih unggul dari bangsa lain seperti halnya Yahudi dengan  Z i o n i s m e – nya atau Hitler dengan N a z i – nya. Namun nasionalisme dalam pemaknaan sebuah negara bangsa yang utuh sebagai satu kesatuan geopolitik tak terpisahkan yang terletak diantara dua benua dan dua samudera, dari ujung Sumatera sampai ke Papua.
Oleh sebab itu, nasionalisme yang bukan  c h a u v i n i s m e haruslah diletakkan pada prinsip  p e r i k e m a n u s i a a n  yang dengan arif mampu melihat bahwa Indonesia adalah bagian kecil dari dari dunia. Bangsa Indonesia adalah bagian dari kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia.
Prinsip ini menjadi prinsip kedua yang diusulkan oleh Ir. Soekarno dengan menyebutnya sebagai i n t e r n a s i o n a l i s m e.
Lebih tegas, Ir. Soekarno mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak dalam taman sarinya internasionalisme”. Kedua prinsip tersebut oleh Ir. Soekarno kemudian disarikan menjadi satu yang kemudian sering disebut sebagai  s o s i o – n a s i o n a l i s m e.
Prinsip berikutnya yang diusulkan oleh Ir. Soekarno yaitu  m u f a k a t  atas dasar  p e r w a k i l a n  dan  p e r m u s y a w a r a t a n. Prinsip ini tetap didasarkan pada cita-cita untuk membentuk suatu negara yang “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Nilai-nilai demokrasi diimplementasikan melalui tata cara perwakilan dan etika permusyawaratan. Ir. Soekarno dalam pidatonya dihadapan sidang BPUPKI mengatakan, “Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”.
Demokrasi dalam pemahaman Ir. Soekarno bukanlah hanya demorasi politik yang hanya memberikan kesamaan hak dan kesempatan politik, namun yang tak kalah penting juga adalah kesamaan hak dan kesempatan ekonomi. Kesamaan hak dan kesempatan politik yang tidak diimbangi oleh kesamaan hak dan kesempatan ekonomi, hanya akan memberi ruang bagi lahirnya anarchisme politik dan ekonomi berupa penindasan dan penjajahan oleh kaum elit politik dan pemilik modal (kapital) sebagai pemilik kekuasaan politik dan ekonomi terhadap rakyat yang tak lebih hanya menjadi obyek politik dan obyek ekonomi.
Demokasi politik dan demokrasi ekonomi hanya bisa terwujud jika ada keterwakilan dari semua unsur kebangsaan di dalam badan pemusyawaratan guna menjamin terselenggaranya dua prinsip  p o l i t i e k e  r e c h t v a a r d i g h e i d dan  s o c i a l e  r e c h t v a a r d i g h e i d,  k e a d i l a n  p o l i t i k  dan  k e a d i l a n  s o s i a l.
Dengan adanya demokrasi ekonomi, maka prinsip k e s e j a h t e r a a n menjadi prinsip keempat yang diusulkan oleh Ir. Soekarno. Prinsip kesejahteraan adalah prinsip “ tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”.  M u f a k a t  sebagai bentuk demokrasi politik dan  k e s e j a h t e r a a n  sebagai bentuk demokrasi ekonomi, oleh Ir. Soekarno disarikan menjadi  s o s i o – d e m o k r a s i.
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal yang saat ini sedang giat-giatnya dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Prinsip terakhir yang diusulkan oleh Ir. Soekarno adalah prinsip Ketuhanan. Mengingat Ir. Soekarno seorang arsitek, menjadi wajar jika prinsip Ketuhanan diletakkan paling bawah. Sehebat dan semegah apapun konstruksi sebuah bangunan pada akhirnya dtentukan oleh seberapa kuat fondasi bangunan yang menopangnya.
Prinsip Ketuhanan adalah fondasi bagi keempat prinsip yang terletak diatasnya. Ketuhanan yang dimaksud oleh Ir. Soekarno adalah dimana di dalam Indonesia Merdeka setiap orang bebas dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa dengan cara berkeadaban dan berbudaya.
Cara berkeadaban dan berbudaya yang dimaksud adalah  s a l i n g  h o r m a t  m e n g h o r m a t i  satu sama lain antar warga bangsa.
Tentang prinsip Ketuhanan, Ir. Soekarno dengan tegas mengatakan, “Bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.” Prinsip Ketuhanan akan mendasari setiap sikap, tindakan dan perilaku dengan spirit cinta dan kasih sayang kepada sesama baik sesama manusia, maupun kepada sesama ciptaan Sang Maha Pencipta.
“Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
Dengan prinsip Ketuhanan sebagai prinsip kelima sekaligus yang terakhir, Ir. Soekarno telah meletakkan fondasi spiritualitas ke-tauhid-an diatas sekat-sekat agama dalam gedung Indonesia Merdeka.
Kelima prinsip yang dinamakan Pancasila, menurut Ir. Soekarno masih dapat disarikan lagi menjadi Trisila yaitu Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan ketika sudah menjadi Trisila pun masih dapat disarikan lagi menjadi Ekasila, yaitu   G O T O N G – R O Y O N G.
—oo0oo—
Hari ini, 1 Juni 2010, tepat 65 tahun yang lalu terhitung sejak Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya tentang Pancasila dihadapan sidang BPUPKI. Sungguh ironis, tatkala apa disampaikan Ir. Soekarno dalam pidatonya ternyata sungguh bertolak belakang -jauh panggang dari apinya- dengan kenyataan yang ada saat ini dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apa yang terjadi hari-hari belakangan ini ternyata justru memperlihatkan betapa para petinggi negeri ini telah berkhianat terhadap prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pancasila. Dalam praktek penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara, para elit politik malah sibuk menghamba menjadi komprador yang dengan bangga mempraktekkan sistem demokrasi liberal dan sistem perdagangan bebas atas pesanan para majikannya hingga akhirnya malah membawa rakyat negeri ini jatuh makin dalam ke jurang keterpurukan dan kesengsaraan.
Jikalau Ruh Pancasila tak segera pulang ke pangkuan ibu pertiwi, maka negeri ini tak lebih tinggal hanyalah negeri kardus yang dihuni oleh zombie-zombie predator yang akan memangsa habis nilai-nilai jati diri bangsa Indonesia.

Kontributor Artikel & Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.

www.MestiMoco.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar???? untuk PDI Perjuangan Kabupaten Malang

Arsip Blog