PDIP.kabmalang.com -
Presiden pertama RI, Soekarno sempat ngamuk kepada penghulu yang
menikahkannya dengan istri pertamanya, Utari. Hal ini disebabkan karena
permasalahan Soekarno tidak mengenakan pakaian adat pernikahan,
melainkan mengenakan jas dengan paduan dasi.
Saat itu, Soekarno memang sedang gandrung dengan model busana jas lengkap dengan dasi. Namun karena pakai dasi itulah, penghulu tersebut beranggapan bahwa dasi adalah pakaian orang Kristen. Berpakaian mengenakan dasi dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan Islam, namun Soekarno muda ngotot dan menganggap penghulu tersebut kolot.
"Tuan Kadi (penghulu), saya menyadari dulu pengantin hanya memakai pakaian Bumiputera, yaitu sarung. Tapi itu adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah berubah," Kata Soekarno geram seperti dikutip dari buku 'bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Yayasan Antar Kota Jakarta 1978.
Akan tetapi penghulu tersebut sama keras kepalanya dengan Bung Karno. Penghulu tersebut dengan nada suara membentak dan mengatakan jika pakaian sarung dan pakaian bumiputera lainnya seperti pantalon dan jas bukan yang seharusnya diubah. Bung Karno pun semakin marah dengan apa yang dikatakan oleh penghulu tersebut.
Soekarno pun tak kalah kuat pendapatnya bahwa sudah menjadi kebiasaan untuk selalu berpakaian rapi. Akan tetapi penghulu itu pun tidak mau mengalah dan tetap tidak akan menikahkan bapak dari Megawati Soekarnoputri jika tetap berpakaian ala Kristen.
"Ya, barangkali tidak perlu kita lanjutkan pernikahan ini," kata penghulu dengan nada ketus.
Keadaan pun semakin tidak karuan hanya karena saling ngotot perihal pakaian Bung Karno. Melihat acara sakral yang seharusnya berjalan mulus tetapi mengalami ganjalan. Imam Masjid pun memprotes, tetapi Bung Karno terlanjur emosi dengan perkataan penghulu.
"Persetan dengan tuan-tuan semua, saya tidak mau didikte orang di saat perkawinan saya," kata Soekarno dengan nada meluap-luap.
Tetapi pernikahan tersebut akhir tetap berlangsung dengan penghulu yang diambil alih oleh seorang tamu alim. Seorang tamu yang tidak disebutkan latar belakangnya mampu menikahkan dua sejoli tersebut dengan mengabaikan pakaian yang dikenakan Soekarno.
Seperti diketahui, pernikahan Soekarno dengan Utari, putri dari HOS Tjakaraminoto merupakan pernikahan belas kasihan. Pasalnya, setelah sang istri meninggal, kedukaan mendalam terpancar dari pahlawan pendidikan ini. Tjokroaminoto sendiri merupakan guru sekaligus orangtua bagi Bung Karno. sebelum istri Tjokroaminoto meninggal, Bung Karno sempat ngekos di rumah Tjokroaminoto ketika bersekolah di Surabaya. Semenjak istri gurunya tersebut meninggal, Bung Karno berpindah tempat tinggal.
Salah satu saudara HOS Tjokroaminoto meminta Bung Karno untuk mengobati kedukaan dari gurunya tersebut dengan cara menikahi Utari yang telah menjadi anak yatim. Tanpa berpikir lama Bung Karno pun melamar Utari. Tjokro pun menerima dengan senang hati dan menyetujui pernikahan tersebut.
Tetapi yang belum terjawab dari pertanyaan Tjokroamito hingga ajal menjemput, yakni apakah Soekarno mengawini Utari hanya untuk menyenangkan hati Tjokro.
Saat itu, Soekarno memang sedang gandrung dengan model busana jas lengkap dengan dasi. Namun karena pakai dasi itulah, penghulu tersebut beranggapan bahwa dasi adalah pakaian orang Kristen. Berpakaian mengenakan dasi dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan Islam, namun Soekarno muda ngotot dan menganggap penghulu tersebut kolot.
"Tuan Kadi (penghulu), saya menyadari dulu pengantin hanya memakai pakaian Bumiputera, yaitu sarung. Tapi itu adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah berubah," Kata Soekarno geram seperti dikutip dari buku 'bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Yayasan Antar Kota Jakarta 1978.
Akan tetapi penghulu tersebut sama keras kepalanya dengan Bung Karno. Penghulu tersebut dengan nada suara membentak dan mengatakan jika pakaian sarung dan pakaian bumiputera lainnya seperti pantalon dan jas bukan yang seharusnya diubah. Bung Karno pun semakin marah dengan apa yang dikatakan oleh penghulu tersebut.
Soekarno pun tak kalah kuat pendapatnya bahwa sudah menjadi kebiasaan untuk selalu berpakaian rapi. Akan tetapi penghulu itu pun tidak mau mengalah dan tetap tidak akan menikahkan bapak dari Megawati Soekarnoputri jika tetap berpakaian ala Kristen.
"Ya, barangkali tidak perlu kita lanjutkan pernikahan ini," kata penghulu dengan nada ketus.
Keadaan pun semakin tidak karuan hanya karena saling ngotot perihal pakaian Bung Karno. Melihat acara sakral yang seharusnya berjalan mulus tetapi mengalami ganjalan. Imam Masjid pun memprotes, tetapi Bung Karno terlanjur emosi dengan perkataan penghulu.
"Persetan dengan tuan-tuan semua, saya tidak mau didikte orang di saat perkawinan saya," kata Soekarno dengan nada meluap-luap.
Tetapi pernikahan tersebut akhir tetap berlangsung dengan penghulu yang diambil alih oleh seorang tamu alim. Seorang tamu yang tidak disebutkan latar belakangnya mampu menikahkan dua sejoli tersebut dengan mengabaikan pakaian yang dikenakan Soekarno.
Seperti diketahui, pernikahan Soekarno dengan Utari, putri dari HOS Tjakaraminoto merupakan pernikahan belas kasihan. Pasalnya, setelah sang istri meninggal, kedukaan mendalam terpancar dari pahlawan pendidikan ini. Tjokroaminoto sendiri merupakan guru sekaligus orangtua bagi Bung Karno. sebelum istri Tjokroaminoto meninggal, Bung Karno sempat ngekos di rumah Tjokroaminoto ketika bersekolah di Surabaya. Semenjak istri gurunya tersebut meninggal, Bung Karno berpindah tempat tinggal.
Salah satu saudara HOS Tjokroaminoto meminta Bung Karno untuk mengobati kedukaan dari gurunya tersebut dengan cara menikahi Utari yang telah menjadi anak yatim. Tanpa berpikir lama Bung Karno pun melamar Utari. Tjokro pun menerima dengan senang hati dan menyetujui pernikahan tersebut.
Tetapi yang belum terjawab dari pertanyaan Tjokroamito hingga ajal menjemput, yakni apakah Soekarno mengawini Utari hanya untuk menyenangkan hati Tjokro.
Sumber : .merdeka,com
Kontributor Artikel & Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
www.MestiMoco.com
0 komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar???? untuk PDI Perjuangan Kabupaten Malang