PDIP.kabmalang.com -
Kemerdekaan Indonesia jelas bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit -taken for granted-. Namun merupakan suatu sintesa dari sebuah proses dialektika perjuangan panjang bangsa Indonesia.
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) -Dokuritu Zyunbi Tyoosakai-
adalah salah satunya yang dibentuk dalam kerangka kemerdekaan
Indonesia. BPUPKI yang bekerja sejak 28 Mei – 1 Juni 1945 dan kemudian
dilanjutkan 10 – 17 Juli 1945, secara maraton melakukan sidang-sidang
yang intensif guna melakukan pembahasan dan perumusan tentang dasar
negara, wilayah negara, warganegara dan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang bertempat di gedung Tyuuoo Sangi-In
(sekarang kantor Dep. Luar Negeri), Ir. Soekarno mendapat kesempatan
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya tentang dasar negara yang kemudian
disebut sebagai Pancasila.
Dalam paparannya, Ir. Soekarno, menyampaikan urutan dan penjelasan
tentang Pancasila yang berbeda dengan Pancasila yang saat ini dikenal
dan dipahami pada umumnya.
Perbedaan tesebut dapat dilihat sebagai berikut :
Pancasila
|
1 Juni 1945
|
Sekarang
|
Nasionalisme, atau kebangsaan
|
Ketuhanan Yang Maha Esa
|
Internasionalisme, atau perikemanusiaan
|
Kemanusiaan yang adil dan beradab
|
Mufakat
|
Persatuan Indonesia
|
Kesejahteraan
|
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
|
Ketuhanan
|
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
|
Diawal pidatonya Ir. Soekarno menekankan pentingnya sebuah negara memiliki p h i l o s o f i s c h e g r o n d s l a g
yang menjadi fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,
hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi.
Ir. Soekarno juga menyebutnya sebagai w e l t a n s c h a u u n g
atau filsafat hidup. Filsafat hidup yang bukan baru akan dibuat dalam
kerangka kemerdekaan Indonesia, namun filsafat hidup yang memang sudah
berakar urat dan mendarah daging tertanam sejak lama.
Cita-cita didirikannya negara Indonesia sebagai suatu negara “semua
buat semua” dan bukan buat satu golongan, suku, atau agama apapun yang
mendasari Ir. Soekarno untuk mengusulkan prinsip k e b a n g s a a n,
atau n a s i o n a l i s m e.
Kebangsaan yang dimaksud bukanlah nasionalisme dalam pemaknaan sempit yang mengarah pada c h a u v i n i s m e dengan menempatkan bangsa Indonesia seolah-olah lebih unggul dari bangsa lain seperti halnya Yahudi dengan Z i o n i s m e – nya atau Hitler dengan N a z i
– nya. Namun nasionalisme dalam pemaknaan sebuah negara bangsa yang
utuh sebagai satu kesatuan geopolitik tak terpisahkan yang terletak
diantara dua benua dan dua samudera, dari ujung Sumatera sampai ke
Papua.
Oleh sebab itu, nasionalisme yang bukan c h a u v i n i s m e
haruslah diletakkan pada prinsip p e r i k e m a n u s i a a n yang
dengan arif mampu melihat bahwa Indonesia adalah bagian kecil dari dari
dunia. Bangsa Indonesia adalah bagian dari kekeluargaan bangsa-bangsa di
dunia.
Prinsip ini menjadi prinsip kedua yang diusulkan oleh Ir. Soekarno dengan menyebutnya sebagai i n t e r n a s i o n a l i s m e.
Lebih tegas, Ir. Soekarno mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat
hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme
tidak dapat hidup subur kalau tidak dalam taman sarinya
internasionalisme”. Kedua prinsip tersebut oleh Ir. Soekarno kemudian
disarikan menjadi satu yang kemudian sering disebut sebagai s o s i o –
n a s i o n a l i s m e.
Prinsip berikutnya yang diusulkan oleh Ir. Soekarno yaitu m u f a k a
t atas dasar p e r w a k i l a n dan p e r m u s y a w a r a t a n.
Prinsip ini tetap didasarkan pada cita-cita untuk membentuk suatu
negara yang “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Nilai-nilai demokrasi diimplementasikan melalui tata cara perwakilan
dan etika permusyawaratan. Ir. Soekarno dalam pidatonya dihadapan sidang
BPUPKI mengatakan, “Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”.
Demokrasi dalam pemahaman Ir. Soekarno bukanlah hanya demorasi
politik yang hanya memberikan kesamaan hak dan kesempatan politik, namun
yang tak kalah penting juga adalah kesamaan hak dan kesempatan ekonomi.
Kesamaan hak dan kesempatan politik yang tidak diimbangi oleh kesamaan
hak dan kesempatan ekonomi, hanya akan memberi ruang bagi lahirnya
anarchisme politik dan ekonomi berupa penindasan dan penjajahan oleh
kaum elit politik dan pemilik modal (kapital) sebagai pemilik kekuasaan
politik dan ekonomi terhadap rakyat yang tak lebih hanya menjadi obyek
politik dan obyek ekonomi.
Demokasi politik dan demokrasi ekonomi hanya bisa terwujud jika ada
keterwakilan dari semua unsur kebangsaan di dalam badan pemusyawaratan
guna menjamin terselenggaranya dua prinsip p o l i t i e k e r e c h t v a a r d i g h e i d dan s o c i a l e r e c h t v a a r d i g h e i d, k e a d i l a n p o l i t i k dan k e a d i l a n s o s i a l.
Dengan adanya demokrasi ekonomi, maka prinsip k e s e j a h t e r a a
n menjadi prinsip keempat yang diusulkan oleh Ir. Soekarno. Prinsip
kesejahteraan adalah prinsip “ tidak akan ada kemiskinan di dalam
Indonesia Merdeka”. M u f a k a t sebagai bentuk demokrasi politik
dan k e s e j a h t e r a a n sebagai bentuk demokrasi ekonomi, oleh
Ir. Soekarno disarikan menjadi s o s i o – d e m o k r a s i.
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara demokrasi Pancasila
dengan demokrasi liberal yang saat ini sedang giat-giatnya dipraktekkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Prinsip terakhir yang diusulkan oleh Ir. Soekarno adalah prinsip
Ketuhanan. Mengingat Ir. Soekarno seorang arsitek, menjadi wajar jika
prinsip Ketuhanan diletakkan paling bawah. Sehebat dan semegah apapun
konstruksi sebuah bangunan pada akhirnya dtentukan oleh seberapa kuat
fondasi bangunan yang menopangnya.
Prinsip Ketuhanan adalah fondasi bagi keempat prinsip yang terletak
diatasnya. Ketuhanan yang dimaksud oleh Ir. Soekarno adalah dimana di
dalam Indonesia Merdeka setiap orang bebas dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa dengan cara berkeadaban dan berbudaya.
Cara berkeadaban dan berbudaya yang dimaksud adalah s a l i n g h o
r m a t m e n g h o r m a t i satu sama lain antar warga bangsa.
Tentang prinsip Ketuhanan, Ir. Soekarno dengan tegas mengatakan,
“Bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang
berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan
yang hormat menghormati satu sama lain.” Prinsip Ketuhanan akan
mendasari setiap sikap, tindakan dan perilaku dengan spirit cinta dan
kasih sayang kepada sesama baik sesama manusia, maupun kepada sesama
ciptaan Sang Maha Pencipta.
“Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa
Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
Dengan prinsip Ketuhanan sebagai prinsip kelima sekaligus yang
terakhir, Ir. Soekarno telah meletakkan fondasi spiritualitas
ke-tauhid-an diatas sekat-sekat agama dalam gedung Indonesia Merdeka.
Kelima prinsip yang dinamakan Pancasila, menurut Ir. Soekarno masih
dapat disarikan lagi menjadi Trisila yaitu Sosio-nasionalisme,
Sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan ketika sudah menjadi Trisila pun
masih dapat disarikan lagi menjadi Ekasila, yaitu G O T O N G – R O Y O
N G.
—oo0oo—
Hari ini, 1 Juni 2010, tepat 65 tahun yang lalu terhitung sejak Ir.
Soekarno menyampaikan pidatonya tentang Pancasila dihadapan sidang
BPUPKI. Sungguh ironis, tatkala apa disampaikan Ir. Soekarno dalam
pidatonya ternyata sungguh bertolak belakang -jauh panggang dari apinya-
dengan kenyataan yang ada saat ini dalam praktek kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Apa yang terjadi hari-hari belakangan ini ternyata justru
memperlihatkan betapa para petinggi negeri ini telah berkhianat terhadap
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pancasila. Dalam praktek
penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara, para elit politik
malah sibuk menghamba menjadi komprador yang dengan bangga mempraktekkan
sistem demokrasi liberal dan sistem perdagangan bebas atas pesanan para
majikannya hingga akhirnya malah membawa rakyat negeri ini jatuh makin
dalam ke jurang keterpurukan dan kesengsaraan.
Jikalau Ruh Pancasila tak segera pulang ke pangkuan ibu pertiwi, maka
negeri ini tak lebih tinggal hanyalah negeri kardus yang dihuni oleh
zombie-zombie predator yang akan memangsa habis nilai-nilai jati diri
bangsa Indonesia.
Kontributor Artikel & Foto :
Herman Hidayat
Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini.
Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
www.MestiMoco.com