RAKYAT!
Alangkah saktinya kata-kata ini. Semua bangsa beradab menyebut dengan
khusyuk kata-kata itu dalam konstitusi negara mereka.Suara rakyat adalah
suara Tuhan.
Fox populi
fox dei, demikian keyakinan manusia pada abad modern dewasa ini. Jika
suara Tuhan adalah suara kebenaran, suara rakyat adalah kebenaran itu
sendiri.
Dalam
Si Shu, kitab suci
Konghucu, dikatakan: "
Tuhan mendengar
seperti rakyat mendengar, Tuhan melihat seperti rakyat melihat".
Artinya, telinga dan mata rakyat adalah telinga dan mata Tuhan. Iman
kepada Tuhan berarti iman kepada rakyat; mengabdi kepada Tuhan pun hanya
bisa dimengerti dalam pengabdian kepada rakyat.
Kita bangsa Indonesia menganut akidah yang sama, "akidah
kerakyatan". Dalam teks konstitusi kita, secara harfiah kata-kata
"rakyat" adalah yang terbanyak disebut. Tidak kurang dari
200 kali,
paling banyak dibandingkan semua kata kunci yang lainnya.
Pancasila kita juga menempatkan "rakyat" sangat istimewa. Dengan
menyebutnya di sila keempat ("Kerakyatan yang dipimpin...") dan sila
kelima ("Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"), berarti
rakyatlah sangkan paran atau alfa-omega hidup kebernegaraan kita.
Rakyat yang dipalsukan
Namun,
siapakah sesungguhnya sang "
rakyat" yang punya kedudukan
begitu tinggi dalam hampir semua konsep ideologi dan sistem kenegaraan
di muka bumi ini, juga di negeri kita, Indonesia? Siapakah gerangan
"rakyat" itu? Di mana tempat tinggal dan apa kerjanya sehingga ia layak
menjadi sasaran seluruh jihad kenegaraan dan pemerintahan bangsa
Indonesia?
Apakah rakyat itu termasuk saudara sebangsa dari kalangan yang
tunawisma, tunakerja, dan kaum miskin papa yang tinggal di kolong-kolong
jembatan, di kampung-kampung kumuh; yang tidur di bedeng atau
gubuk-gubuk kardus di pinggir rel, yang
setiap saat boleh "ditertibkan"
dengan kasar oleh aparat berseragam dengan menggunakan pentungan?
Kalau iya,
kenapa mereka begitu jauh dari kepedulian negara kita?
Bahkan, tak jarang (aparat) negara memperlakukan mereka layaknya sampah
yang hanya pantas untuk disingkirkan, dilempar jauh ke pinggiran.
Seperti mata uang dan semua yang berharga dan istimewa selalu rentan
dipalsukan dan dimanipulasi oleh tangan-tangan jahil, juga rakyat yang
begitu berharga dan begitu istimewa. Begitu banyak pihak--oknum ataupun
lembaga--yang menyebut diri dengan label rakyat, mengaku mewakili
rakyat, melayani rakyat, melindungi rakyat, dan berjuang untuk
kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya?
Ada yang bertanya: bagaimana hukumnya orang yang mencari nafkah
untuk diri dan keluarganya, mendapatkan kekayaan dan fasilitas mewah
dengan atas nama rakyat, padahal kenyataannya tidak demikian? Label
rakyat di situ hanya dipalsukan!
Maka, kita pun melihat dan merasakan paradoks di negeri ini, antara
yang diikrarkan dan dibuktikan. Negara berjanji untuk hadir dan bekerja
bagi keadilan (sila kelima) dan sebesar-besar kemakmuran rakyat (UUD
Pasal 33 Ayat 3). Namun, sejauh ini yang dimakmurkan, dari waktu ke
waktu, adalah para pejabat dan kroninya. Lebih-lebih pada era reformasi
dewasa ini. Sementara yang namanya rakyat selalu dibelakangkan. Hanya
kebagian sisa. Itu pun kalau masih ada.
Perlukah kita kembali bicara tentang sesuatu yang begitu sederhana,
yang kita asumsikan semua kita sudah memahaminya, yakni: siapa
sesungguhnya "rakyat" itu. Apa beda dengan pejabat? Atau pejabat yang
terhormat itulah rakyat yang sebenar-benarnya?
Siapa rakyat itu?
Rakyat berasal dari bahasa Arab,
raiyat, artinya
gembala. Di
seberang raiyat (rakyat) ada ra'iy, alias si penggembala, pamong (Jawa)
atau dalam konteks perbincangan kita adalah pejabat.
Filosofi hubungan gembala- penggembala bukan untuk merendahkan yang
satu dan meninggikan yang lain, tetapi untuk menegaskan tanggung jawab
yang satu (penggembala/pejabat) terhadap yang lain (gembala/rakyat).
Maka, penggembala yang baik bukan yang mendominasi, melainkan yang
selalu siap melayani, melindungi, dan mengutamakan kepentingan
gembalanya. Jika perlu dengan mengorbankan kepentingannya sendiri.
Penggembala tidak identik dengan pemilik gembala; pejabat bukan tuan
yang boleh bertindak dan memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Sang
pemilik rakyat sebagai gembala tidak lain adalah Allah, Tuhan Sang Maha
Pencipta. Pejabat hanya Amil, alias aparat Allah yang dipikuli amanat
untuk melindungi dan memberdayakan rakyat gembalanya.
Sebagai Amil, mereka berhak dapat gaji, sebagai upah atas kerja
mereka melayani rakyat, maksimal 1/8 (12,5 persen) dari seluruh anggaran
negara yang dipungut dari sedekah-pajak rakyatnya. Lebih dari itu,
apalagi sampai 60 persen dari APBN, jelas tak halal dan merupakan
kezaliman.
Rakyat tidak identik dengan warga atau penduduk. Tidak ada kartu
tanda rakyat (KTR); yang ada kartu tanda penduduk (KTP/paspor), termasuk
di dalamnya para pejabat. Warga atau penduduk secara apriori tidak
mengenal hierarki, berbeda dengan rakyat vis a vis pejabat.
Secara formal, posisi pejabat ada di atas rakyat, tetapi secara
moral rakyat ada di atas pejabat. Rakyat, seperti disebut berkali- kali
dalam konstitusi, adalah sumber moralitas dan muara seluruh kerja negara
yang dijalankan oleh dan jadi tanggung jawab pejabat negara dan
aparatnya.
Prioritaskan yang lemah
Namun, rakyat (terpisah dari pejabat) begitu banyak jumlahnya. Di
negeri kita bisa 200-an juta jiwa. Pertanyaannya, mana yang mesti
diutamakan saat sumber daya--terutama anggaran-- negara terbatas?
Jawabannya: mulailah dari lapisan rakyat yang paling rakyat, yang ada di
lapis paling bawah. Agama dan konstitusi, UUD 1945, menyebut mereka
"kaum fakir-miskin" atau kaum dluafa wal mustadl'afien (lemah dan
terlemahkan).
Tanpa sadar kita pun cenderung mengidentikkan rakyat dengan apa yang
disebut wong cilik, yang lemah, tertinggal dan terpinggirkan; bukan
para pejabat atau mereka yang digdaya dan kaya raya. Inilah yang
terungkap dalam nomenklatur jujur kita ketika menyebut makanan rakyat,
pasar rakyat, transportasi rakyat. Pasti yang dimaksud rakyat di sini
bukan kaum gedongan yang di atas, melainkan mereka yang terdampar di
lapis bawah. Rakyat jelata! Itulah yang harus jadi prioritas kerja
negara.
Agama tidak membenci atau mengutuk orang kaya--bahkan sekaya-kayanya
seperti Nabi Sulaiman--asal diraih dengan cara halal, bukan dengan
manipulasi atau korupsi. Namun, negara pasti akan kehilangan keberkatan
bila membiarkan rakyatnya yang miskin tenggelam dalam kemiskinan. Tidak
peduli apakah itu negara sekuler atau negara agama.
Al Quran menegaskan: "Tahukah engkau si pendusta agama? Ialah yang
menghardik anak yatim nan telantar dan tidak sungguh-sungguh dalam
memecahkan derita kaum fakir-miskin".
Kiranya Tuhan segera menyadarkan bangsa kita, terutama para pemimpinnya. (*)