KONTRAK POLITIK DAN POLITIK KONTRAK
Apresiasi publik terhadap dialektika demokrasi dan diskursus politik di negeri ini kian hari kian menempati rating yang sangat tinggi. Diantara isue politik yang selalu mengundang banyak opini adalah soal seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pilkada-pilkada (provinsi, kota, dan kabupaten) di berbagai daerah juga tak kalah seru dari pemilu Presiden beberapa tahun lalu. Mulai dari soal pigur kandidat, kendaraan politik (baca: parpol atau koalisi parpol), anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black campaign, politik uang, sampai kontrak politik.Itu potret dimana pilkada telah menjadi isue yang cukup “hot” dalam interaksi sosial politik di negeri ini.
Agar spektrumnya tidak terlalu melebar, penulis membatasi masalah mengenai kontrak politik saja. Kontrak politik diapresiasikan publik kepada para kandidat pemimpin agar kelak jika terpilih tidak ingkar janji. Kontrak politik diasumsikan lebih dari sekadar janji. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa kontrak politik itu tidak ada gunanya, karena tidak punya kekuatan hukum dan sulit untuk di klaim.
Adagium yang mengatakan bahwa ” ikan rusak mulai dari kepala (insan)nya” acapkali dipakai untuk menggambarkan potret kepemimpinan yang dinilai tidak membawa kemajuan dan kejahteraan. Alih-alih bicara soal kemajuan, kepemimpinan bahkan seringkali menyajikan tontonan kepura-puraan, pemborosan, salah urus, miss manejemen, retoris, kolutif, nepotis, dan praktek korupsi. Latar pengalaman kemimpinan dengan wajah yang seperti itu, mendorong sikap trauma dan antipati rakyat. Panggung-panggung kampaye, brosur, pamflet, flyer, dan bekas-bekas banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tidak ampuhnya janji-janji retoris sang pemimpin menjadikan publik mencari model lain selain model ala orasi panggung dan tagline-tagline kampanye sang kandidat. Lantas, model ala kontrak politik menjadi trend yang diyakini publik bersifat mengikat. Selain disaksikan dan diumumkan secara luas ke masyarakat, juga sang kandidat bahkan menandatangani yang disaksikan oleh perwakilan masyarakat yang dianggap refsentatif. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah cukup ampuhkah model ini mengikat sang kandidat..
Pengalaman empiris membuktikan bahwa hampir tidak ada pengaruh signifikan terhadap relasi antara kontrak politik dengan prilaku pemimpin dan kepemimpinan. Kontrak politik baru sebatas instrumen pendongkrak popularitas sang kandidat. Kontrak politik sebagai alat pemuas sang kadidat untuk meminimalisir resistensi dengan rakyat. Apalagi sang kandidat paham betul bahwa dikemudian hari, selain sanksi moral–tidak ada sanksi yuridis yang harus dihadapi kendati tidak terjadi pemenuhan atas kontrak politik itu. Tengoklah, hampir tidak ada calon yang menolak ketika disodori kontrak politik yang se’seram’ apapun klausa kontrak politiknya. Bahkan respon sang kandidat terhadap isu kontrak politik itu beragam. Ada yang merespon bahwa kontrak politik adalah keharusan sebagai bukti kesungguhan. Walaupun banyak juga yang berpendapat kontrak politik tersebut tidak lebih hanya untuk menarik simpati rakyat.
Sejatinya kontrak politik bagi sang kandidat adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat. Tapi apa boleh buat kita harus bersabar menunggu.
Event pilkada di daerah terus berjalan bersama semakin menipisnya sikap percaya rakyat pada praktek dan prilaku elite. Sulit untuk tidak memahami posisi sikap rakyat itu, sebab secara jujur memang masih saja terus berlangsung “eksploitasi” rakyat dalam arena politik dan kekuasaan. Tidak jarang setelah kandidat terpilih berkuasa, kontrak politik kandidat sewaktu kampanye hanya bias dijadikan “kenangan”, dalam arti tidak terealisasi sama sekali. Yang terwujud justru kontrak kandidat dengan donator-donatur kampanye-nya. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan yang dibuat selama berkuasa pun lebih pro-donatur daripada pro-rakyat.
Seandainya saja, kontrak politik sebagaimana sebuah kontrak dalam hokum perjanjian, dimana sebuah kontrak dibuat oleh para pihak yang jelas dengan asas kebebasan berkontrak. Jadi jika ada caleg membuat kontrak politik dengan suatu komunitas (rakyat), harusnya jelas rakyat yang mana. Dan penandatangan yang mewakili komunitas tersebut idealnya membutuhkan surat kuasa dari anggota komunitas.
Jika yang membuat kontrak politik adalah (hanyalah) partai dengan para Calegnya, maka kontrak itu hanya memposisikan rakyat kebanyakan sebagai pihak ketiga. Pihak ketiga ini (rakyat biasa) tidak bisa secara langsung menggugat/menuntut bila terjadi pelanggaran klausula kontrak.
Hal lain yang idealnya ada dalam sebuah kontrak, selain cara-cara pemenuhan kontrak, juga kesepakatan cara dan proses melakukan tuntutan jika sebuah kontrak gagal dipenuhi oleh pihak yang menjanjikan sesuatu.
Beberapa hal di atas hanyalah sebagian kecil dari asas-asas berkontrak, yang akan memposisikan apakah sebuah kontrak, termasuk kontrak politik benar-benar memiliki kekuatan hukum atau sekadar bermuatan norma sosial yang sulit untuk “diklaim”. Jika isi klausula kontrak politik ternyata banyak mengandung hal-hal yang secara hokum kabur, terntunya hal ini adalah bentuk dari upaya manipulasi. Namun ini hanya merupakan saran, agar para kandidat tidak lagi main-main dengan sebuah kontrak politik.. [WIA]
0 komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar???? untuk PDI Perjuangan Kabupaten Malang