PDIPerjuangan.kabmalang.com - REN MUHAMMAD
“SEKARANG tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan
nasib tanah-air dalam genggaman tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang
berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan
kuatnya.”
Begitu sebuah nukilan pidato Bung Karno pada peringatan kemerdekaan Indonesia, 72 tahun silam.
Pidato singkat itu dibacakan persis sebelum Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan kita.
Ratusan orang yang hadir pada momen luarbiasa tersebut, larut dalam
gejolak perasaan tak terperi. Ratusan tahun berjuang akhirnya berbuah
juga.
Jumat pagi itu, pejuang kemerdekaan–baik secara fisik maupun
bangsawan pikiran, meletupkan energi besar yang sulit dibendung Belanda
atau Jepang. Kita merdeka dengan tabularasa.
Sejujurnya, saya masih kesulitan mencerap suasana di Pegangsaan, dulu.
Tak hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang diterjang lelah teramat
sangat. Semua yang hadir kala itu, juga berada dalam kondisi yang sama.
Meski begitu, secara khidmat dan takzim yang tinggi, kemerdekaan kita
tetap dikerek naik ke langit. Seiring lagu Indonesia Raya gubahan WR
Supratman dikumandangkan, dan airmata peserta upacara pun berderaian.
Menjadi Bangsa Mandiri
Senarai memori dari tujuh dekade silam itu memang tinggal cerita dan telah jadi catatan sejarah belaka.
Tak semua kita sanggup menautkannya dengan kehidupan hari ini.
Lebih parahnya lagi, sedikit sekali dari kita yang sanggup menalar
rentetan kejadian nun di hadapan buku sejarah kemerdekaan Indonesia itu.
Memang bukan kita yang tampil sebagai penentu bandul pendulum
perjuangan Indonesia merdeka. Namun, di pundak kita lah kini, bakti pada
negeri tercipta dititipkan. Lantas kita mau apa?
Presiden sudah berganti tujuh kali. Kabinet dibongkar pasang tak
kenal jeri. Kebijakan negara sudah dijalankan setengah abad lebih
lamanya.
Tapi kenapa kita tak jua lelah bertengkar? Kita sibuk berbalahan. Saling tikai. Salah menyalahkan.
Bung Karno pernah menulis surat kepada Jenderal Sudirman yang sebaris
isinya berbunyi begini: “Ibaratnya, hatiku ini adalah kitab yang
terbuka di hadapan Dinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi
Dinda.”
Bahkan Jenderal Sudirman yang jelas berseberangan dengan Bung Karno
dalam pola perjuangan, akhirnya luluh pada perintah presiden yang ia
sanjung sedemikian rupa.
Kini, perilaku seperti itu sulit kita temui dalam kancah politik tingkat tinggi di negeri ini.
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan
milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan
adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”
Begitu yang kerap kali diingatkan Bung Karno dalam setiap pidatonya–pascakemerdekaan.
Meski begitu, sebagai pendiri bangsa, selaku manusia Indonesia
pertama, Bung Karno pun kewalahan melihat “bayi” negara yang ia idamkan
tumbuh begitu cepat.
Partai Nasional Indonesia yang ia dirikan, bubar jalan. Lalu tumbuh
menjamur partai-partai lain yang kelak unjuk gigi pada 1955 dalam Pemilu
perdana.
Semua partai berdiri di atas kaki kepentingan. Bukan atas nama rakyat.
Bung Karno menyadari kecenderungan ini. Ia bubarkan konstituante dan
memimpin langsung negara dengan dekritnya–dibantu Jenderal AH Nasution.
Demokrasi ideal yang ia agendakan terpaksa gigit jari. Pengaruh asing
kadung beranak pinak dalam tubuh negara muda Indonesia. Sialnya, jejak
kebanalan politik praktis waktu itu, masih kita rasakan hingga hari ini.
Orde kekuasaan telah bergonta-ganti hingga tiga kali. Ongkos politik
melambung tinggi, membiayai kedegilan para politisi karbitan tak tahu
diri.
Kemerdekaan kita dari penjajahan bangsa asing, tak sungguh benar raib dari ibu pertiwi.
Imperialisme kini bersalin rupa jadi liberalisme ekonomi.
Korporasi global tak pernah berhenti menjaring manusia modern masuk dalam lembah kemiskinan–tanpa kecuali.
Jika dulu nenek moyang kita berurusan dengan VoC, hari ini kita berhadapan dengan Google.
Beruntungnya, dua tahun belakangan, negara kita mulai sibuk bekerja keras lagi. Membangun kekuatan dari segala lini.
Warga dunia tercengang melihat kinerja Kabinet Kerja Jokowi. Kendati
jauh dari memuaskan, namun setidaknya kita masih bertahan dari gempuran
zaman.
Demokrasi yang dipilih tetua bangsa kita, sejatinya sangat tak memadai dijadikan soko guru sebuah negara sebesar Indonesia.
Kita tidak bisa terus menerus menghujat dan mencaci pemerintah. Negara ini milik kita. Bangsa Indonesia adalah kita jua.
Bung Karno menyadari betul keunggulan kita sebagai sebuah negara-bangsa.
Ia berhasil memeras saripati yang merekatkan bangsa Nusantara sampai melahirkan Indonesia raya.
Sebagai seorang Muslim, ia jadikan al-Quran tuk pedoman membangun
kehidupan umat manusia di dunia–termasuk kita, agar gemah rimah loh
jinawi.
Sekadar catatan, di antara para pemimpin dunia saat itu yang cekatan
mengutip ayat al-Quran dan juga menerapkannya, ya Sang Proklamator
Indonesia.
Dalam buku Bung Karno Menerjemahkan al-Quran (Mizan, 2017), karya
Mochamad Nur Arifin, saya menemukan pikiran Bung Karno berikut ini;
“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan–tuhannya sendiri. Bagi yang Kristen
menyembah tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadahnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semua
bertuhan. Hendaklah Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
‘egoisme-agama.’ Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang
bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik Islam maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Beberapa tahun ini, kita seperti kesulitan menjalankan laku hidup
yang demikian. Seolah membuktikan nubuat Isa al-Masih dua milenia silam,
“Sedikit sekali manusia yang menemukan gerbang sempit menuju
kehidupan.”
Segoro Gunung, 17 Agustus 2017
Ren Muhammad
Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja:
pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran
buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin
di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.
Sumber: Kompas
Kontributor Artikel dan Foto :
Posisi KEUANGAN Forum Komunikasi Kader PDI Perjuangan.
.www.KabMalang.com admin@kabmalang.com
0 komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar???? untuk PDI Perjuangan Kabupaten Malang